Belajar untuk Berkomunikasi Tanpa Menyakiti dengan NVC
Halo 2017!
Setahun kemarin saya hampir bisa
dibilang nggak aktif blogging. Hobi
nulis sih masih, tapi jadi beralih ke nulis skripsi selama satu semester dan
menulis di website-website komersil sebagai content
writer dan beberapa kali diminta untuk menulis konten organisasi tertentu.
Saya pun setahun belakangan aktif di beberapa kegiatan volunteering yang ternyata seru juga ya. Ceileh.
Menggapai impian buat aktif blogging lagi tuh ada aja ya
rintangannya. Kebanyakan dari diri sendiri sih yang memang sulit bagi waktu
(ini penyakit menahun saya) dan kehabisan ide. Bukan. Saya nggak pernah
kehabisan ide ding, tapi agak malas
mengonsepkan ide menjadi suatu tulisan yang kontinyu.
Nah, sekarang saya mau
memperkenalkan blog saya yang tampil seperti baru. Akan lebih terstruktur dan
semoga nggak angin-anginan seperti yang lalu-lalu. Tahun ini saya ingin rebranding blog saya. Banyak inspirasi
yang sudah menghantui saya selama ini… and this is it! Saya boleh berencana,
tapi tekad jugalah yang nantinya menjadi penentu apakah ini akan berhasil?
Selalu saya semogakan, kok. Doain ya!
Oke, saya mau cerita sedikit.
Beberapa minggu lalu saya bertemu dengan seorang teman lama di suatu kawasan
perkantoran di Jakarta. Dia mengeluhkan masalah percintaannya yang menurutnya
sangat mengenaskan. Padahal menurut saya mah
biasa aja. Hehe!
Singkat cerita, teman saya ini
terlalu berlebihan dalam menanggapi kondisi heartbreak-nya.
Berdasarkan ceritanya yang panjang lebar—selama 3 jam kami mengobrols 75%-nya
diisi oleh tangis sesenggukan—saya dapat menyimpulkan bahwa yang
melatarbelakangi putusnya hubungan teman saya dan mantan pacarnya itu adalah
karena: miskom, alias miss-communication.
Dia pun membenarkannya.
Awalnya sih miskom ini dianggap
mereka sebagai hal sepele dan berharap akan berakhir baik dengan sendirinya. Oh
tentu tidak. Justru hal kecil macam miskom inilah yang seperti penyakit kronis.
Kalau nggak diobati sejak dini, ya lama-kelamaan bakal jadi habit dan akhirnya merusak hubungan itu
sendiri.
Saya nggak serta merta sok tahu
dan langsung memberikan solusi seperti yang dimintanya. Saya minta waktu untuk
belajar komunikasi dalam hubungan interpersonal. Iya, saya seserius itu
menanggapi curhatan seorang teman dan nggak mau sembarangan juga. Lagipula,
ketika itu waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore yang artinya hampir jam pulang
kantor dan saya nggak mau pulang bersama para pekerja kantoran Jakarta yang
ruamenya minta ampun, apalagi sampai harus rebutan napas di gerbong commuter line.
Satu buku yang langsung terlintas
di pikiran saya adalah buku Social
Psychology karya David G. Myers yang jadi salah satu ‘kitab suci’ saat saya
kuliah di psikologi dulu. Eh, nggak dulu-dulu banget kok. Masih bisa dibilang fresh graduate lah. Hehe.
Di buku itu ada bagian yang
menjabarkan tentang konsep-konsep dasar komunikasi. Yailah, dasar banget. Saya
nggak mungkin menjelaskan hal beginian ke orang yang lagi galau dan patah hati.
Pasti enek dan nggak nyambung juga karna terlalu jauuuh.
Saya pun mencoba mencari
literatur yang lebih spesifik sampai akhirnya saya menemukan satu buku dengan judul
yang menarik menurut saya yaitu Non-Violent
Communication: Language of Life dari Marshall B. Rosenberg.
Oke, saya nggak akan mereview
bukunya di sini yang memang bagus dan enak dibaca. This book should be in everyone’s book-to-read list! Inti pesannya
adalah hati-hati dalam berkomunikasi, bisa aja kata-kata yang kita anggap biasa
aja tapi bermakna dalam atau malah menyakiti orang lain.
Saya ingin berbagi sedikit isi
penting yang ada di dalam buku ini. Apalagi kalau bukan konsep dan proses Non-violent Communication (NVC) agar
kita semua bisa berkomunikasi dan menjadi makhluk sosial yang nggak berpotensi
menyakiti. Inilah yang menjadi penyebab kandasanya kisah cinta teman saya itu.
Segala bentuk komunikasinya bukan membangun tapi saling menghancurkan.
Pernah nggak sih kamu sebel
dengan orang yang kalau bicara nadanya marah-marah atau kata-katanya sinis?
Wah, saya sih sebel banget! Kalau ada orang yang seperti itu, rasanya pengen
teriakin “Lu tuh belagu, ye.” Lalu melengos pergi.
Tapi apakah reaksi saya di atas
sudah benar? Apakah malah akan memperburuk keadaan?
Dengan NVC, saya jadi latihan
sabar dan belajar lebih elegan dalam menanggapi manusia-manusia yang kalau
ngomong seenak jidat. Dengan NVC juga, saya jadi sadar bahwa terkadang kita
lebih memperhatikan cara kita berkomunikasi dengan orang asing atau yang tidak
dekat dengan kita dibandingkan dengan orang yang dekat secara emosional dengan
kita. Gimana, saya sudah pantas belum jadi duta NVC? Hehe.
Maksudnya, kita bisa bersikap
sopan dan mengelola nada bicara kita sehingga orang lain (terutama orang baru
atau orang yang hendak kita impress)
merasa nyaman ngobrol dengan kita dan pastinya menghadirkan suatu kesan yang
baik tentang diri kita. Lain halnya dengan seseorang yang dekat dengan kita
secara emosional, seperti pasangan, orang tua, saudara, teman dekat atau
orang-orang yang (maaf) tingkatannya berada di bawah kita secara jabatan atau
struktur tertentu. Kita bisa lebih ‘lepas’ dan jarang sekali memerhatikan etika
dalam berkomunikasi. Seolah-olah mereka yang dekat dengan kita harus menerima
kita apa adanya dengan segala keburukan kita tanpa perlu ada kesan yang baik.
Saya nggak tahu, apakah ini
memang budaya orang kita yang senang ‘cari muka’ yang biasanya diawali dengan cara
bicara yang promotif dan impresif. Padahal orang yang dekat dengan kita juga perlu sisi impresif dari kita, lho. Masa
kamu bisa terlihat baik di depan orang asing, tapi di depan saudaramu kamu
malah terlihat galak?
“Tapi sifatku memang begitu,
kak.”
“Lah, memang di budayaku semua
orang kalau ngomong suaranya keras dan bernada tinggi.”
Wah, pembelaan kayak gini nggak
ngaruh sama proses NVC yang benar-benar bisa membuat kita jadi lebih elegan
dalam berbicara. Mau bilang sifatnya nggak bisa ngomong secara halus kek, mau bilang ada faktor budaya kek, mau bilang udah begini dari lahir kek… terserah, sih. Yang pasti, NVC bisa
membantu kita jadi orang yang mau memahami. Karena, siapa sih yang nggak mau
dipahami?
Sometimes, we don’t listen to understand. But we listen to reply.
Alangkah tentramnya dunia kalau
semua orang mau saling mendengarkan dan memahami. Oke, biar lebih bisa memahami
dengan baik, nih saya kasih penjelasan prosesnya dan contohnya…
Jadi ada 4 proses utama dimana
setiap tahapan proses ada kata kuncinya. Dimulai dari kita harus mengamati suatu perilaku yang menggugah
well-being kita. Misalnya kita
memperhatikan bahwa si pacar terlihat ngambek atau bete. Pasti risih banget
kan? Rasanya mau ngapain juga pasti salah deh.
Kemudian kita coba untuk merasakan apa yang kita rasakan
berdasarkan apa yang telah kita amati. Oke, si dia ngambek dan bete. Saya pun
merasa nggak enak, bingung, takut salah, sedih, atau ikutan bete juga dan
sebagainya. Rasakan perasaan kita sendiri. Jangan abaikan.
Karena kita udah tahu nih apa
yang sebenarnya kita rasakan terhadap perilakunya, kita bisa mulai memikirkan
sebetulnya apa sih kebutuhan atau
keinginan kita? Kita butuh penjelasan dari dia kenapa dia bisa sampai bete?
Kita ingin dia mengungkapkan yang sebenarnya dan bukan hanya ngambek?
Setelah itu kita bisa meminta si dia melakukan sesuatu yang
konkrit untuk membantu memenuhi kebutuhan kita. Bisa sesederhana minta si dia
tersenyum lagi atau minta penjelasan apa yang harus kita lakukan biar si dia
nggak bete atau ngambek lagi.
Contoh secara keseluruhan:
“Aku lihat kayaknya kamu lagi bete. Maaf, aku nggak tahu apa sebenarnya
yang membuat kamu bete. Aku merasa bingung dan sedih melihat kamu ngambek kayak
gini. Aku butuh penjelasan kamu biar kita bisa sama-sama introspeksi, mana yang
salah dan harus diperbaiki. Boleh nggak kalau kamu jelasin ke aku apa sih yang
bikin kamu bete? Siapa tahu kita bisa nyari solusinya bareng-bareng. Hehe. Oh iya,
senyum dikit dong biar makin awet muda gitu.”
Kurang lebih kayak gitu. Ya
sisanya kamu harus bisa sepik-sepik dikit biar nggak kaku-kaku banget atau
terkesan aneh. Maksudnya kan biar terdengar lebih elegan jadi jangan sampai
malah kelihatan menjijikan. Hahaha.
Ingat, tujuan NVC ini selain biar
nggak miskom adalah agar bisa saling
memahami. Terlebih karena komunikasi adalah hal yang fundamental di dalam suatu hubungan. Jadi kalau
cara komunikasi kita adem ayem ya
udah pasti roman-roman kebahagiaan di dalam hubungannya juga terjaga. Hehe.
Btw, NVC ini bisa dilakukan untuk
menghadapi orang yang dekat ataupun orang asing, secara individual maupun di
publik. Kuncinya sih harus bisa tenang dan nggak langsung baper (terbawa perasaan) di dalam suatu situasi. Semua orang layak
dipahami dan berhak untuk memahami. Gimana mau saling memahami kalau komunikasi
sebatas adu argumen dan hanya membela pemikiran-pemikiran pribadi?
0 Feed Back:
Posting Komentar