Sharenting: Resiko dan Bahaya yang Mengintai Anak di Balik Social Media



Sekarang adalah masa dimana para generasi millennial mulai berkeluarga, punya anak, dan otomatis menjadi orang tua. Banyak juga di antaranya masih ingin fokus karir atau pendidikan seperti, ehem… saya. Udah ada beberapa teman sepantaran saya yang kini menjadi mahmud alias mamah muda. Punya anak di usia yang masih layak diajak kumpul geng ala remaja itu pasti punya tantangan tersendiri.

Jadi orang tua yang punya anak kecil itu pasti ripuh. Kalau kata salah seorang teman saya, ripuh itu udah kayak singkatan riweuh dan rapuh. Satu sisi pasti emang riweuh banget alias repot dan ribet. Yang tadinya hanya mikirin diri sendiri, kini harus nambah mikirin bocah yang apa-apa harus dibantuin. Dan yang sering bikin para mahmud stress adalah kalau anaknya yang bayi lagi sakit, rewel ketika mau tidur, susah makan, atau sesimpel susah dipakaikan baju setelah mandi.

Kedua, karena stress itulah jadi sering rapuh. Mood seringkali berantakan. Mau me-time atau sekedar kumpul bareng teman pasti yang jadi pokok persoalan antara hidup dan mati adalah “Ntar anak gue gimana? Gue bawa anak gue ngumpul ya, soalnya hari ini neneknya lagi nggak di rumah jadi nggak bisa dititipin.”

Sebagai teman sih biasanya oke-oke aja ada bayi ikut nimbrung selama ngumpul. Tapi yang bikin suasana kumpul terasa ‘ibu-ibu’ adalah ketika si mahmud sibuk sama gadgetnya untuk merekam aktivitas si anak. Udah mah jarang ngumpul, eh sekalinya ngumpul boro-boro mau ngobrol, yang ada malah foto-foto atau ngerekam anaknya (biasanya juga teman-temannya si mahmud gantian foto bareng bayi seperti jumpa fans), update di social media, mikirin caption… sampai anaknya minta susu atau mau tidur. Nggak berhenti di situ. Ketika anaknya tidur, si mahmud masih sibuk sama gadgetnya karena di momen seperti inilah saat yang tepat untuk: memantau jumlah likes atau views dan membalas komentar di postingan! Halah, ini sih apanya yang ngumpul?

Fenomena kayak gini pasti udah sering dijumpai. Dimulai dengan hadirnya gadget yang secara instan merekam atau memotret lalu posting di social media seperti smartphone atau tablet. Akhirnya jadi habit deh. Apalagi sekarang ada live video seperti Snapchat atau Instagram Stories. Jujur aja, di explore Instagram saya bertebaran banget wajah-wajah lucu bayi-bayi artis maupun anak rakyat biasa. Walaupun saya nggak begitu banyak follow akun ibu-ibu atau mahmud.

Saya yang kebetulan suka gemes ngelihat anak kecil yang lucu dan pintar sih senang-senang aja menikmatinya. Ya emang lucu, gimana dong?

Tapi tahu nggak sih, kalau fenomena kayak gini ada istilahnya? Pernah dengar yang namanya Sharenting? Jadi istilah ini pertama kali diciptakan oleh The Wall Street Journal dimana sebenarnya hal ini merujuk pada oversharenting, yaitu kombinasi dari perilaku oversharing dan parenting. Yang dimaksud oversharing di sini adalah mereka yang seringkali secara sengaja mengunggah kehidupan pribadinya melalui social media. Apa yang mereka upload biasanya hal-hal yang bersifat personal seperti aktivitas sehari-hari, tempat-tempat yang sering dikunjungi kayak sekolah atau rumah, selfie, ataupun semacam ekspresi perasaan.

Nah, orang-orang yang doyan oversharing ini ketika punya anak dan malah mengupload aktivitas anaknya secara sering termasuk ke dalam sharenting. Pasti tujuan awalnya adalah ingin menunjukkan bahwa anaknya tumbuh dengan sehat, lucu, pintar, dan menggemaskan. Ada pula yang ingin mengabadikan momen, biar nanti kalau udah gede si anak tahu kalau orang tuanya begitu perhatian.

Tapi, apakah itu penting? Nggak juga sih. Sebuah kewajiban? Ya tentu bukan. Ini tuh trend, bukan sesuatu yang kudu banget setiap orang tua melakukan sharenting.

Apalagi kalau anaknya dari lahir aja udah dibikinin akun social media! Saya beneran nggak habis pikir. Faedahnya apa ya selain untuk pamer perkembangan si kecil?

Saya bukannya bermaksud untuk mendiskreditkan para ibu-ibu. Saya paham banyak hal luar biasa yang telah dilakukan para mahmud terhadap anaknya, pengorbanan dan cinta yang tak hingga. Maka dengan memposting wajah dan aktivitas anaknya bisa jadi penawar peluh dan apresiasi terhadap diri sendiri karena merasa berhasil merawat anak yang tumbuh dengan sehat dan pintar. Bahkan pengorbanan seorang ibu bisa sesimpel bikin cakep anaknya dulu, emaknya belakangan.

Hebat lah para ibu-ibu millennial ini! Saya salut banget.

Tapi yang saya tekankan di sini adalah perilaku oversharing yang beresiko. Saya tahu ada beberapa orang tua yang setiap hari posting tentang aktivitas anaknya. Mulai dari lahir, tiap hari, sehari bisa lebih dari satu post. Kalau oversharing ini udah di tahap paling membahayakan adalah orang-orang sampai hapal di mana rumahnya, sekolahnya, jam segini ngapain aja, jam segitu sama siapa aja. Hiiii… kebayang nggak sih, dari kecil aja udah minim privasi dan itu dilakukan oleh orang tua sendiri! It’s so sad.

Orang dewasa yang oversharing tentang kehidupannya di social media aja sebenarnya berbahaya. Orang asing dapat dengan mudah mengakses kehidupan personal dan memiliki data-data pribadi kita sampai menyimpan foto-foto yang telah kita sebarkan di social media. Kalau lagi apes dan nggak bijak ketika posting sesuatu di social media, bisa-bisa wajah kita dijadikan meme yang merusak citra atau yang paling ekstrim adalah mengedit foto kita menjadi seseorang yang lain dalam konteks yang negatif. Duh, amit-amit!

Apalagi anak kecil ya. Resikonya bisa lebih besar dari yang orang tuanya bayangkan. Nih, contoh-contoh resikonya:

  • Jadi ngasih clue ke pedofil atau para predator anak
Secanggih apapun orang tuanya, pasti nggak bisa tahu siapa aja yang udah melihat dan menyimpan dokumentasi anaknya. Bisa aja seorang pedofil atau predator anak yang menyimpan foto anak sebagai (maaf) bahan pelampiasan hasrat seksual. Memang nggak secara langsung menyakiti anak, tetapi ini berarti membuka peluang pada si predator untuk bisa mengakses kehidupan personal anak. Apalagi jaman sekarang social media itu udah canggih-canggih banget. Kalau kita terlalu banyak memasukkan data pribadi seperti share location seperti rumah dan sekolah, bukan nggak mungkin ada yang diam-diam mengintai dari layar ponsel. Hiiii nggak mau kan, bu?

  • Digital kidnapping dan munculnya akun palsu
Ada istilah digital kidnapping, atau penculikan secara digital. Pernah dengar berita ada sebuah akun instagram yang mengklaim bahwa dia jual bayi dan foto-foto yang dipajang di akun itu adalah foto-foto bayi yang diunggah beberapa selebriti dan orang-orang lain? Jadi si akun jual bayi ini nyomot foto bayi yang lucu-lucu lalu diupload lagi di akunnya dengan menambahkan caption harga bayi! Gile bener! Padahal bayi-bayi di foto itu belum di tangan mereka. Inilah yang termasuk ke dalam digital kidnapping. Data-data seperti foto bayi (mungkin juga si pelaku udah punya data pribadi seperti alamat rumah) ini lah yang mereka ‘ambil secara diam-diam’ sebagaimana proses penculikan yang sebenarnya. Pasti bikin orang tua si bayi jadi takut kalau anaknya kelak jadi korban penculikan beneran. Atau kasus lain, seperti banyak akun palsu yang mengatasnamakan si anak atau keluarga (biasanya selebriti) kemudian mengupload foto-foto anak itu dengan beragam caption. Parahnya, ini jadi peluang bisnis bagi si akun tanpa menguntungkan si keluarga yang fotonya diambil itu, dimana kalau followers-nya banyak bisa dapat endorse-an juga. Parah banget, kan?

  • Ketika udah dewasa, mereka bisa aja malu dengan dokumentasi masa kecilnya
Iya sih, bayi yang ileran itu wajar dan menggemaskan. Benar, anak kecil yang lagi belajar jalan lalu kesandung atau kejedot terus nangis itu itu bikin ngakak. Nggak dipungkiri memang, ekspresi bayi lagi ngeden mau pup itu lucu banget. Pasti menyenangkan bisa share ke orang-orang bahwa anak kita sehat, nggak kurang satu apapun. Tapi alangkah bijak kalau orang tua nggak upload foto anaknya lagi mandi, sehingga terlihat jelas nipple dan kemaluannya. Selain bahaya ulah predator, semua dokumentasi kayak gini mungkin masih ada sampai anak dewasa. Dia bisa jadi bahan ejekan teman-teman sekolahnya (bisa jadi cyber bullying di masa depan) atau mungkin sulit dapat kerja karena hasil pencarian online menunjukkan dokumentasi-dokumentas masa kecil yang memalukan. Oh, no!

  • Self-esteem anak rendah dan minim privasi
Oke, kalau resiko yang ini sifatnya psikologis banget. Anak yang populer di dunia maya sejak kecil mungkin sering mendapatkan komentar dari orang lain. Apalagi anak yang sering dipakaikan baju ala-ala OOTD (Outfit of the Day) lalu bergaya di depan kamera lalu dipost oleh orang tuanya. Sedihnya, dia bisa aja bertumbuh sebagai anak dengan pribadi yang ‘disetir’ oleh harapan netizen lain. “Lebih suka gayanya yang girly deh, pakai rok tutu gitu lucu. Daripada pakai celana panjang gini.” Masa dari kecil udah kehilangan jati diri? Oh iya, waktu itu saya pernah overheard mbak-mbak yang lagi ngobrolin anak seorang selebgram di sebuah kafe. Salah satu dari mereka ada yang bilang “Lucu sih kalau di instagram, tapi pas gue ketemu kemarin mah anaknya pendiem, terus sering rewel gitu jadi nggak gemesin deh kayak yang gue lihat di instagramnya.” Belum lagi, waktu itu ada kasus, saya nggak tahu apakah dia selebgram atau bukan tapi jumlah followersnya ada huruf k di belakang dua digit. Foto anaknya yang dia unggah sempat dikomentari oleh netizen dengan kata-kata yang nggak pantas. Kira-kira seperti ini (maaf), “Ini nih hasil hubungan di luar nikah, anak haram jadinya aneh gitu muka anaknya.” YA AMPUN SITU KEJAM BANGET, MBAK! Nggak kebayang hancurnya hati si ibu dan si anak kelak kalau membaca komentar kayak gini. Ya memang resiko sih, suka atau nggak suka tapi sebenarnya kita lah yang mempermudah akses seseorang untuk turut mengomentari hidup kita dari sebuah dokumentasi yang kita share secara online.

Menjadi orang tua memang harus siap lahir bathin, jiwa raga. Termasuk harus paham menggunakan social media. Mungkin kita udah berusaha mengontrol untuk nggak sharing aktivitas anak di social media. Tapi kita juga perlu tekankan ke keluarga atau orang dewasa lain yang sering berinteraksi dengan anak untuk sama-sama nggak mengupload apapun tentang anak ke social medianya. Nggak apa-apa sih upload, tapi sebaiknya anak berpakaian lengkap dan didampingi orang tua serta ekspresi yang wajar nggak nyeleneh. Kemudian nggak perlu sering-sering karena bisa dianggap spamming atau nyampah di timeline walaupun kita yakin anak kita adorable. Kalau mau berbagi kebahagiaan, bisa share ke orang-orang terdekat dan yang kita percaya. Atau jadikan sebagai dokumentasi pribadi aja. Bisa diupload di media penyimpanan online yang memiliki privasi yang artinya hanya kita atau keluarga yang bisa mengakses.



Nggak sharing bukan berarti hidup kita nggak seru. Nggak upload bukan berarti anak kita nggak lucu. Nggak posting bukan berarti anak kita nggak tumbuh sehat. Because child is the most precious gift from God. Sesuatu yang precious memang sebaiknya tidak diumbar secara berlebihan, kan?

Share this:

JOIN CONVERSATION

3 Feed Back:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. MashaAllah, Nice post.Only One Muslim mom can do her be an honest person.more details www.thequranbox.com

    BalasHapus
  3. Saya sangat senang membagikan kesaksian yang luar biasa ini tentang bagaimana saya mendapatkan kembali mantan saya dengan bantuan pria hebat bernama Ogbidi ini. dia memang seorang spell caster yang sangat kuat, saya terpisah dari suami saya dua tahun yang lalu karena ibu mertua saya. Terima kasih Tuhan telah menggunakan Dr. ogbidi untuk membawa kita kembali bersama untuk selamanya, suamiku sekarang mencintaiku lebih dari sebelumnya. Anda juga dapat menghubungi dokumen hebat ini untuk kesaksian Anda sendiri melalui email: ogbidihomeofsolution1@gmail.com atau whatsapp dia melalui: +2348052523829.
    Semoga Tuhan membantu Anda juga saat Anda menghubunginya. Terima kasih.

    BalasHapus