Something about JETLAG


Kamu pasti pernah membaca atau mendengar kata jetlag? At least pernah sekali waktu baca judul blogpost ini hihihi

Beberapa dari kita mungkin pernah mengalami yang namanya jetlag setelah berpergian ke negara di benua yang berbeda dengan menggunakan pesawat. Tapi, benarkah yang kamu alami itu adalah jetlag? Dan apa yang membuat seseorang dapat mengalami jetlag?

Kali ini gue akan membahas jetlag dari sudut pandang cognitive psychology, jadi bisa dibilang blogpost ini semi ilmiah karena untuk menulisnya gue harus baca buku applied cognitive psychology, salah satu cabang ilmu psikologi yang gue gandrungi saat ini.

Sebelum membahas jetlag, kamu harus tahu dulu yang namanya circadian rhythm (ritme sirkadian), yaitu sebuah jam biologis yang mengatur ritme kerja tubuh dan biasa disebut juga dengan sleep-wake cycle. Iya, emang susah ngejelasinnya.

Jadi gini, gue kasih contoh ya. Manusia itu punya siklus tidur-bangun. Kayak gimana tuh? Siklusnya manusia itu malam hari waktunya tidur, siang hari waktunya bangun. Hal ini adalah proses internal tubuh. Tapi, circadian rhythm ini bekerja juga karena ada faktor eksternal, yang paling berkontribusi adalah cahaya. Kalau di lingkungan yang gelap atau minim cahaya, tubuh mempersepsikan bahwa itu adalah malam hari, sedangkan kalau di lingkungan yang terang, tubuh menganggap itu siang hari.

Nah, jetlag ini mengganggu circadian rhythm, terutama bagi kamu yang terbang melintasi negara yang berbeda-beda GMT atau berbagai zona waktu, misal dari barat ke timur atau sebaliknya. Gimana bisa? Karena ketika kita tiba di negara tujuan, tubuh akan mengatur kembali siklus tidur-bangun menyesuaikan dengan waktu di tempat itu.

Contohnya, seseorang terbang dari London (Inggris) jam 6 sore pada tanggal 10 Mei menuju Auckland (New Zealand) diperkirakan akan menempuh perjalanan selama 24 jam (penerbangan langsung). Jam biologisnya akan ‘berpikir’ bahwa tiba di Auckland pada tanggal 11 Mei jam 6 sore, padahal kenyataannya, ia tiba di Auckland pada tanggal 12 Mei jam 5 pagi. Jam biologisnya pun harus menyesuaikan dengan waktu setempat. This is what we called jetlag!

Oh iya, kalau summertime di Inggris jadinya GMT+1.

Kalau terbang dari belahan bumi utara ke selatan dan sebaliknya nggak akan membuat kita jetlag karena tidak ada perbedaan waktu dan tidak merubah siklus tubuh kita. Daaan… ternyata terbang dari barat ke timur lebih bisa bikin jetlag daripada terbang dari timur ke barat!

Kita sebagai penumpang pesawat aja bisa jetlag, apalagi pilot dan kru pesawat? Yes, jetlag bisa menyebabkan adanya error dan kecelakaan (Waterhouse et al., 1997 dalam Esgate et al., 2005). Karena, jetlag dapat menyebabkan berbagai gejala seperti kelelahan, insomnia atau malah tidur di waktu yang tidak sesuai, pusing, gangguan pencernaan, mual, kehilangan konsentrasi atau gangguan kognitif lainnya, serta gangguan mood.

Semakin banyak zona waktu yang terlewati, maka semakin buruk pula gejala yang dialami. Gejala-gejala tersebut biasanya muncul  setelah beberapa hari, bahkan bisa sampai 5 hari atau lebih kalau terbang melewati 9 atau lebih zona waktu (Waterhouse et al., 1997 dalam Esgate et al., 2005).


Belum ada cara yang pasti untuk 'menyembuhkan' atau menghindari jetlag. But the good news is, jetlag bisa diminimalisir. Para travelers sebaiknya menghindari dehidrasi selama penerbangan, jadi harus banyak minum air putih dan hindari juga minum-minuman beralkohol. Kalau perjalanan jauh, pilih penerbangan yang ada transit untuk membantu dalam proses penyesuaian siklus jam biologis dan mereduksi jetlag ketika di tempat tujuan. Ketika terbang, tidurlah hanya di jam malam waktu destinasi. Ingat, jam malamnya menyesuaikan waktu di negara tujuan, bukan negara asal. Dan jangan lupa juga, rencanakan dengan hati-hati aktivitas apa saja yang harus dilakukan ketika sampai di tempat tujuan.

Nah, sekarang jadi tahu kan kenapa sih seseorang bisa mengalami jetlag. Semoga blogpost ini bermanfaat!

Have a nice day, folks!


Got insights from:
Esgate, A., Groome, D. 2005. An Introduction to Applied Cognitive Psychology. New York: Psychology Press.

Share this:

JOIN CONVERSATION

    Blogger Comment

0 Feed Back:

Posting Komentar