Nggak Sengaja Curhat
Nulis itu susah-susah gampang.
Susahnya lebih banyak daripada gampangnya.
Nulis di buku harian, nulis status di sosial media, atau
chatting itu mudah. Apa yang tercetus di otak secara bebas dapat dituliskan,
penting nggak penting itu urusan kedua.
Menulis untuk berkarya itu baru sulit. Menulis yang nikmat
agar dapat dinikmati jauh lebih sulit. Ide-ide mentah yang liar harus diolah
sedemikian rupa menjadi kalimat yang apik dan menarik.
Kalimat-kalimat yang terdengar indah belum tentu dapat
dengan mudah dipahami pembaca.
Menulis itu seni. Bagaimana penulis mengolah rasa yang
bersemayam dalam pikiran lalu menuangkannya pada secarik kertas atau melalui
pertemuan jari dan keyboard dengan mata tertuju pada layar adalah suatu proses
penghayatan.
Menulis itu seni. Tidak ada nilai pasti yang menjadi patokan
dari sebuah tulisan. Bukan tentang berapa jumlah komentar, jumlah jempol, atau
pengunjung laman.
Gue belum menjadi blogger hebat, masih bisa dibilang pemula,
bukan juga seseorang yang hobi blogwalking. Tapi gue sadar bahwa inspirasi itu
bukan hanya dari sesuatu yang dapat dibaca.
Blog gue sekarang-sekarang ini seperti punya dua sisi yang
tidak saling terhubung. Gue memanfaatkan blog dengan dua tujuan dan key public
yang berbeda.
Sisi pertama menggambarkan sekelumit cita-cita gue. Menjadi seorang
psikolog anak professional. Dengan menulis di blog gue berusaha membagi ilmu
yang masih nggak seberapa ini, mengajak berdiskusi, menerima kritik dan saran
yang membangun, dan memotivasi gue untuk terus belajar dengan mencari referensi
yang luas.
Sisi pertama ini sering gue isi dengan artikel-artikel
tentang tumbuh kembang anak, masalah-masalah psikologis, parenting, dan
pendidikan. Artikel-artikel ini juga mungkin bisa jadi portofolio atau mungkin
menjadi artikel komersil di suatu hari nanti. Gue membiasakan menulis karena
dengan menulis gue dapat menyampaikan informasi yang mungkin aja berguna untuk
orang lain tanpa harus ketemu atau kenal gue lebih dulu.
Dengan orang tua dan tenaga pendidik sebagai key public, gue
berharap artikel ini nggak hanya bermanfaat bagi gue pribadi tapi juga untuk
para orang tua hebat yang membutuhkan. Semoga sisa umur gue masih panjang dan
selalu diberikan semangat serta kemampuan untuk terus belajar dan berbagi. Akan
sangat menyenangkan kalau dari sebuah tulisan kita dapat menginspirasi dan
menyebarkan manfaat bagi orang lain.
Sisi kedua dari blog ini berisi tentang hal-hal yang
berkaitan dengan relationship things. Bahasa yang gue pakai untuk sisi ini
terlihat lebih ringan, nggak seperti di sisi pertama yang agak baku ala-ala
majalah parenting. Penulisan kalimat yang sederhana gue tujukan untuk key public
gue: adolescent and young adults yang lagi berada di tahap pengesahan jati diri
dan kebingungan dalam masalah hubungan percintaan.
Awalnya gue nggak pernah kepikiran untuk menulis sisi ini,
tapi lucunya sisi ini malah lebih banyak digandrungi, lebih banyak menuai respond
and viewings. Jadinya sekarang gue mulai memahami bahwa blog ini bukan hanya
untuk hal yang berkaitan dengan masa depan gue pribadi, tapi gue juga berusaha
untuk berbagi pandangan-pandangan gue yang belum pernah gue publikasi.
Walaupun kelihatannya sederhana, menulis di sisi kedua juga
nggak kalah susah. Bedanya, sisi pertama gue harus membaca berbagai referensi,
mempelajari, lalu menuangkan dengan bahasa gue sendiri lalu berdoa semoga para
orang tua ngerti.
Sementara di sisi kedua, nggak ada referensi khusus yang gue
pakai. Inspirasi bisa dari mana aja. Kebanyakan ide-ide dan pandangan di sisi
kedua ini gue dapat dari pengalaman pribadi, curhatan teman, gossip, yang
kemudian gue analisis sendiri. Kadang dalam menulis artikel di sisi kedua gue
butuh teman diskusi. He’s actually my boyfriend. Gue butuh diskusi karena gue
butuh opini dari kaum adam mengenai masalah terkait. Selain itu gue butuh
partner yang rela meluangkan waktunya yang nggak akan kembali hanya untuk berdebat
dengan gue.
Serunya, dari situ kita berdua jadi belajar.
Menulis untuk sisi pertama memakan waktu yang cukup lama. Gue
harus ngumpulin niat ekstra, mikirin topik, cari referensi yang tepat,
mempelajari, bikin outline di notebook, dan menuliskan kembali dengan bahasa
yang mudah dicerna. Gue jarang terkendala writer’s block di sisi ini. Satu-satunya
yang menghalangi sejauh ini adalah rasa malas. Biasanya mulai tahap bikin
outline sampai nulis. Karena gue lebih suka pakai referensi situs luar negeri,
maka gue harus memahami dan menuliskannya dengan bahasa Indonesia yang
sederhana.
Menulis untuk sisi kedua juga nggak kalah pusing. Pembaca sih
cuma butuh waktu kurang dari setengah jam untuk membaca artikel yang udah jadi.
Sementara gue, butuh waktu berjam-jam untuk bikin satu artikel itu. Kadang bisa
berhari-hari kalau udah kena writer’s block. Udah ditulis separagraf panjang,
pas dibaca lagi ternyata nggak sreg, akhirnya dihapus gitu aja. Dihapus loh ya,
bukan diedit. Penyusunan pokok pikiran paragraf juga nggak mau sembarangan. Dalam
hal tulis menulis gue termasuk orang yang perfeksionis. Semuanya serba
terstruktur.
Tapi itu semua adalah proses yang nikmat. Gue nulis artikel
ini saat writer’s block. Lagi nggak tau mau nulis apa, tiba-tiba pengen curhat.
Bahkan kena writer’s block pun gue syukuri, karena ternyata dengan itu gue jadi
bisa nulis hal lain yang (moga-moga) menginspirasi.
Menulis itu seni. Saat gue mempublikasikan tulisan, gue
nggak berharap yang muluk-muluk. Ngelihat pertumbuhan viewings tiap jam-nya
yang semakin bertambah aja udah seneng banget. Apalagi kalau sampai ada pembaca
yang merespon positif, memberi masukan, atau sekedar bilang “Bagus, Pi.”
Menurut gue pembaca seperti itu adalah pembaca cerdas yang apresiasinya
nggak akan bisa gue bayar dengan apapun. Sering disebut sebagai ketulusan. Tanpa
gue minta, mereka bersedia memberi. Tanpa gue janjiin apapun, mereka bersedia
meluangkan waktu untuk membaca dan menanggapi. Seberuntung itu menjadi penulis.
Kalau udah baca komentar dan respon dari pembaca, nggak ada
sedikitpun ingatan tentang mata lelah, mumetnya saat ngetik, dan sakit pinggang
karena kelamaan duduk. Pembaca sukses jadi moodbooster gue. Ya, walaupun
pembaca gue belum banyak-banyak amat, tapi tetap gue syukuri karena tulisan gue
nggak akan berkembang tanpa mereka.
Hah. Ternyata naik tangga menuju mimpi itu benar-benar nggak
mudah. Gue mencintai proses yang mengubah gue dari yang nggak tau apa-apa
tentang menulis menjadi gue-yang-udah-tahu-sedikit-tentang-seni-menulis.
Jujur, sampai sekarang gue nggak tahu bakat gue apa. Nggak pernah
jago dalam olahraga bahkan bisa dibilang malas. Nggak bisa main alat musik apapun,
nggak tahu not balok, bukan menyanyi untuk dibayar tapi menyanyi lalu membayar
alias cuma bisa karaoke. Nggak punya tangan luwes yang bisa menggambar
ilustrasi, kurang pandai mendesain melalui apapun, selera fotografi yang
standar, hanya sekedar minat tapi nggak berbakat. Tiga tahun belakangan merasa
sangat beruntung karena nggak lagi berhadapan dengan matematika yang sulit, rumus-rumus
fisika, dan nama-nama senyawa kimia, serta nggak pernah kepikiran untuk kuliah
di institut teknologi.
Sejauh ini gue hanya punya minat dan berharap suatu hari
bakat gue terungkap dari minat itu. Gue berminat di linguistik. Gue senang
menulis, membaca, belajar bahasa asing dan bercerita. Gue juga senang menari, bisa dibilang menari adalah
kegiatan yang cukup familiar buat gue dari kecil. Gue selalu antusias kalau
belajar tarian baru yang mengajak seluruh anggota tubuh gue untuk bergerak.
Tuhan Maha Adil. Dia ngasih porsi segini agar nantinya gue
bisa lebih fokus menggali kemampuan. Dan pembuktian kemampuan gue nggak ada
apa-apanya tanpa kehadiran orang-orang dan situasi-situasi yang menginspirasi.
Terima kasih teman-teman pembaca setia. Gue masih butuh
kamu-kamu semua yang bersedia mendorong gue untuk terus belajar dan
berimprovisasi. Tulisan ini gue buat di awal penitian langkah menuju mimpi agar
suatu hari, apapun yang terjadi, ada pengingat untuk nggak bersifat langit
ataupun pengingat untuk nggak terjun ke dasar jurang.
Terima kasih atas ketulusannya.
Mohon maaf lahir dan batin.
0 Feed Back:
Posting Komentar