Mau
intermezzo dulu, ah. Beberapa hari ini saya sempet
skip nulis untuk blog karena lagi sibuk
pindahan. Saya pindah dari kosan ke rumah. Dengan berat hati saya harus
meninggalkan kamar kos yang udah saya tempati selama empat setengah tahun dan
tidak pernah pindah. Saya menghuni kos tersebut dari pertama kali kos itu resmi
dibuka, dari yang belum ada apa-apanya, banyak masalahnya, sampai benar-benar
jadi primadona.
Kosan yang saya tempati itu
beberapa kali berganti-ganti penjaga dengan kebijakan yang berbeda-beda pula.
Pemilik kosannya sih nggak di situ. Semua penjaganya warga setempat. Tapi saya
merasa nyaman dan betah banget. Walaupun ada masa di mana saya sempat tergiur
untuk cari kosan yang lebih bagus dari ini, merasa nggak sreg sama penjaga kosan yang lama, dan sering merasa sepi juga.
Apa yang menyebabkan saya masih
bertahan hingga akhir adalah karena saya nggak berani keluar dari zona nyaman
dan menyangka bahwa kosan ini adalah yang terbaik. Kalau dibandingkan dengan
kosan lain dengan fasilitas sama, kosan saya jauh lebih murah. Bahkan kalau
saya teliti lagi, kosan saya itu udah mah murah fasilitasnya lengkap pula. Saya
makin pesimis bisa dapat yang lebih baik daripada ini.
Saya sempat stress ketika saya
akan lulus. Masalahnya, saya akan lulus di waktu tanggung. Dan masalah lainnya
adalah kosan saya itu nggak bisa extend
perbulan. Bisanya pertahun atau per enam bulan kalau udah jadi penghuni lama. Di
Jatinangor memang jarang banget ada yang perbulan. Hampir semua dibayar
pertahun dan bisa sampai belasan juta pertahun. Sedangkan kosan saya yang pewe ini nggak sampai sepuluh juta
pertahun dengan fasilitas cukup wow. Makin stress lah saya.
Bukan hanya kosannya,
Jatinangor-nya pun bikin betah. Walaupun ada masa di mana marak pembegalan dan
pernah melihat teman yang kejambretan dekat kosan. Tapi Jatinangor benar-benar student-friendly. Mau makan apapun
gampang, bisa delivery ataupun ke warung-warung yang murah. Café pun mulai
banyak dan nggak mahal-mahal banget. Apartemen dibangun di mana-mana dengan
fasilitas seperti di kota besar. Kemana-mana dekat dan murah. Apalagi kalau
harus kerja kelompok, ngumpulinnya nggak sesulit kayak ngumpulin dragon ball karena tinggalnya pada di
situ-situ aja. Saya curiga, beberapa tahun lagi mungkin kecamatan Jatinangor
akan berkembang dan jadi kota sendiri. Hehehe.
Tapi saya harus melanjutkan hidup
ke tahapan berikutnya. Saya nggak bisa terus-terusan di situ karena hanya
betah. Tempat itu cukup bagi saya dan saya harus mulai ke kehidupan yang baru.
Mungkin kalau rejeki saya ada di kampus yang sama, entah belajar lagi atau
menjadi dosen pun saya akan kembali lagi tapi dengan chapter hidup yang baru tentunya.
Kembali ke judul, jadi apakah
saya udah move on?
Cerita saya yang kayaknya betah
banget jadi penghuni Jatinangor itu bisa dianalogikan seperti orang yang udah
nyaman dengan pasangannya tapi harus move
on. Kalau nggak move on akan
menyia-nyiakan waktu untuk hal lain yang lebih penting dan bermanfaat.
Kalau di kisah saya, move on kemudian move in. Tapi kalau di dalam hubungan, move on belum tentu harus selalu disahkan dengan move in alias punya pasangan baru.
Dulu saat masih abege saya sempat pacaran kemudian bubar
jalan ketika belum genap sebulan. Tapi bulan depannya saya udah pacaran lagi
dengan orang lain. Halah. Dari situ saya belajar bahwa ternyata saya
benar-benar merasa kosong ketika nggak punya pacar. Mungkin karena baru pertama
kali merasakan pacaran. Padahal nggak rutin ketemu juga saat masih pacaran.
Tapi ketika jadi jomblo dan ada yang mendekati, kok ya jadi terkesan murah
meriah gini? Cepet banget lho move on-nya!
Tapi kalau dipikir sekarang,
mungkin dulu saya pacarannya sebentar, move
on nya juga sebentar cukup. Dan jadi ketemu mitos-mitos lain lagi, seperti “lamanya berhubungan berbanding lurus dengan
sulitnya move on ketika sudah pisah.” Really?
Bagi saya, move on itu butuh kesiapan yang serius. Saya sendiri nggak mau
berpasrah pada kalimat penghibur “time
heals you”. Ogah. Move on itu
harus diusahakan.
Seperti pindah tempat tinggal.
Saya memilah-milah mana yang akan saya bawa pindah, mana yang saya buang. Tentu
barang yang nggak perlu, barang yang udah nggak muat, atau yang udah rusak.
Mereka baik di zamannya, tapi nggak untuk saya di masa sekarang apalagi masa
depan. Sama seperti hubungan, ketika memutuskan untuk move on dari hubungan yang berlangsung selama hampir dua tahun di
masa abege, saya memilah-milah mana
yang harus tetap saya simpan mana yang harus saya lupakan kemudian mulai serius
menata hidup untuk move on……. Enam
bulan setelahnya! Uh, kacau memang!
Seperti pindah tempat tinggal.
Saya mengemas barang-barang saya di box
kardus yang berbeda-beda sesuai fungsinya. Ada box yang berisi buku, box berisi
tas, box berisi alat make-up dan skincare dan seterusnya. Ketika saya ke tempat
tinggal baru, saya nggak bingung dan lebih mudah menatanya. Sama seperti
hubungan, ketika move on saya harus
mengelompokkan aktvitas mana yang harus saya sudahi dan mana urusan yang belum
kelar. Begitupun ketika saya udah bersama yang baru, saya bisa belajar dari
yang lalu. Mana yang sekiranya bisa saya lakukan untuk membawa kebahagiaan di
hubungan, mana yang seharusnya tidak dilakukan karena cenderung membawa
kesialan. Walaupun saya tertatih-tatih, tapi saya berhasil. Dan saya puas.
Seperti pindah tempat tinggal.
Terkadang saya nggak rela meninggalkan zona nyaman saya. Saya takut menghadapi
tempat tinggal yang baru, suasana yang asing dan nggak pasti. Saya udah betah
tapi saya harus pindah. Kalau tetap bertahan saya akan menjadi orang yang
sia-sia. Sama seperti hubungan, ketika move
on saya berpikir bahwa saya mungkin nggak akan menemukan yang lebih baik
dari dia, saya udah terbiasa dengan cara-caranya yang membuat saya merasa utuh.
Tapi kalau terus bertahan, saya nggak yakin hidup saya akan senyaman saat ini.
Bertemu seseorang yang ternyata lebih baik dari yang lalu dan yang terpenting
menghargai saya sebagai seseorang yang bebas dan independent. Saya telah menemukan zona nyaman saya yang baru… yang
ternyata jauh lebih nyaman dari sebelumnya.
Seperti pindah tempat tinggal.
Saya harus menyesuaikan diri dengan tempat tinggal yang baru, suasana asing
yang tak biasa, lingkungan yang harus saya pelajari dan wawasan terhadap
orang-orang sekitarnya. Di masa ini, saya menemukan banyak hal yang membuat
saya frustrasi, takut, malas, sampai di titik di mana saya ingin kembali ke
tempat tinggal lama. Sama seperti hubungan, ketika move on saya harus membiasakan diri hidup tanpa notifikasi chat
ucapan selamat pagi lagi. Saya harus selalu ingat bahwa saya cukup memberi
kabar pada orang tua saya aja, tidak ada lagi kecuali ditanya orang lain. Tentu
saya pernah melewati masa-masa aneh dan menjijikan di mana saya berpikir untuk
balikan. Eww. Tapi saya nggak
menyesal. Itulah proses yang wajar. Kita nggak bisa dipaksa untuk melupakan dan
menjadi munafik terhadap diri sendiri.
Sampai akhirnya saya bertemu
dengan seseorang yang baru. Saya meyakini bahwa ada orang-orang yang hadir
membawa kebaikan di hidup kita, seaneh apapun cara datangnya. Saya meyakini
bahwa ada orang-orang yang hadir membawa malapetaka di hidup kita, tapi kita bisa
belajar agar kita nggak memiliki sifat seperti mereka. Dan saya menemukan bahwa
seseorang yang baru ini hadir membawa kebaikan bagi saya sampai saat ini. Bukan
berarti kalau kami bubar jalan lantas dia pembawa malapetaka. It’s simply memang bukan jalannya.
Lalu muncul pertanyaan, gimana
kita bisa tahu bahwa kita udah move on
apa belum? Benarkah orang yang udah jadian lagi dengan orang lain pasti udah move on? Oke, mari kita cek! Saya akan menuliskan
beberapa tanda kalau seseorang udah move
on berdasarkan yang saya rasakan dan juga yang saya caplok dari berbagai
sumber baik saintifik maupun non-saintifik berikut:
- Bisa ngambil hikmah dari hubungan
sebelumnya
Waktu itu saya sadar setelah
hampir satu tahun menjomblo. Ternyata ada hikmahnya juga saya putus sama si
mantan. Kalau nggak udahan, mungkin tiap hari saya uring-uringan karena
terpisah jarak yang cukup jauh. Kalau nggak udahan, mungkin saya nggak bisa
bertemu dengan yang sekarang. Kalau nggak udahan, pastinya saya udah
membuang-buang waktu dan pikiran saya untuk seseorang yang menyakiti saya. Dan
saya pun tahu bahwa saya udah move on
ketika saya bisa bercerita dengan santai ke teman saya dan bilang, “Bego banget
ya gue dulu? Hahaha untung udah putus!”
- Tertarik dengan orang lain
Nah, kalau ini bisa jadi tanda move on yang paling jelas. Advice andalan saya untuk teman-teman
yang curhat tentang gebetan baru setelah putus adalah: “Kalau lo masih
ngebanding-bandingin dia (sang gebetan) dengan mantan lo, itu artinya lo belum
benar-benar move on. Walaupun
ngebandinginnya hal-hal sepele dan cuma di pikiran lo doang.” Kalau udah
benar-benar tertarik dengan orang lain tanpa ada rasa yang tersisa untuk sang
mantan, selamat kamu udah move on!
- Ikut senang melihat mantan udah move on
Nggak ngerasa cemburu ketika
mantan udah punya pacar lagi? Nggak ngerasa sedih mantan bisa duluan menjalin
hubungan lagi dengan yang baru sedangkan kamu masih sendiri? Yakin? Bagus deh! Itu
artinya kamu udah ikhlas melepaskan seseorang yang pernah nangkring di hati. Dulu
juga mantan pacar saya udah duluan punya pacar lagi. Awalnya gengges juga karena saya masih jomblo
kala itu. Tapi saya yakin saya bisa tetap bahagia dan optimis akan mendapatkan
cowok yang lebih baik dari dia. Ya, saya nggak jelek-jelek amat kok!
- Waktu terasa semakin berlalu dan mulai menemukan jati diri
Patah hati itu udah kayak sakaw
narkoba. Penjelasan lengkapnya pernah saya tulis
di sini. Sebelumnya saya
bilang bahwa saya nggak mau hanya mengandalkan kalimat
“time heals you”, tapi bukan berarti saya nggak berterima kasih
pada waktu-waktu yang telah berlalu sehingga membuat saya perlahan lupa akan
perasaan yang tersakiti. Semakin lama, saya semakin tidak putus asa. Saya pun
jadi lebih mengenal diri saya sendiri, merasa lebih bebas dan positif, lebih
fokus untuk mengejar apa yang saya impikan dan benar saja, saya bisa mewujudkan
mimpi saya di waktu itu. Coba kalau masih jadian? Mungkin mimpi saya akan
berbeda. Dan saya nggak bisa berbagi di tulisan ini tentunya. Hehe.
Nah, kira-kira begitulah
tanda-tanda move on yang banyak saya
kaitkan dengan pengalaman pribadi. Saya pikir, kalau saya ingin berkembang
menjadi seseorang yang lebih baik lagi ya saya harus move on. Sebenarnya dalam hal apapun. Hidup nggak boleh di
situ-situ aja, ngerjain hal yang sama-sama aja. Walaupun saya merasa pewe banget di kosan, saya harus pindah
juga. Walaupun saya betah banget dengan seseorang tapi nyatanya nggak membawa
banyak kebaikan untuk saya, ya saya harus mengambil sikap untuk nggak
terus-terusan sama dia lagi, semenjanjikan apapun dia. If the relationship no longer makes me feel happy, blessed, and being a
greater human being… deciding to be single is the only way I will take.
Untuk yang baru aja patah hati... semangat ya, move on-nya! Good luck!