Jangan Ngaku-Ngaku Punya Fobia Agar Terlihat Keren
“Gue tuh fobia sama kecoa! Hiii ngelihatnya di kamar mandi aja gue bisa langsung kabur!”
“Kalau gue takut banget sama badut sirkus yang dandanannya serem gitu. Gue fobia banget. Jangan sampai deh gue ketemu sama badut kayak gitu!”
Mungkin di antara kita udah
sering mendengar pernyataan kayak di atas. Banyak orang yang ngaku-ngaku punya fobia
terhadap sesuatu, entah beneran telah didiagnosa oleh psikolog atau hanya
pengakuan diri sendiri. Fobia itu ketakutan yang ekstrim dan irasional.
Seseorang yang beneran fobia walaupun nggak menghadapi langsung objek atau
situasi yang ditakutkan, tapi terlintas di pikiran aja bisa langsung
mengekspresikan rasa takut dan panik yang berlebihan.
Padahal fobia itu nggak sama
artinya dengan hanya takut terhadap sesuatu. Lebih dari itu, fobia itu termasuk
ke dalam golongan gangguan kesehatan mental. Artinya, banyak gangguan atau
disfungsi secara psikis yang disebabkan oleh rasa takut yang berlebihan. Jadi,
bukan hanya sekedar merasakan takut.
Apalagi yang katanya fobia kecoa.
Halah. Coba deh, bedain mana yang namanya fobia, mana yang namanya takut, dan
mana yang namanya jijik! Kalau saya sih nggak pernah ngaku fobia kecoa, tapi
jijik sama kecoa dan takut kalau kecoanya tiba-tiba terbang nyamperin saya. Kalau
orang fobia kecoa, perilakunya bukan cuma meringis, merinding, atau kabur. Tapi
udah sampai sesak nafas, denyut jantung jauh lebih cepat, keringat jagung,
sampai pingsan di tempat. Bukan yang hanya panik lalu nyari obat nyamuk
semprot. Mereka yang benar-benar fobia nggak akan bisa mikir mau ngapain dan
gimana bisa survive di depan objek fobia.
Pokoknya tersiksa secara psikis dan capek secara fisik, deh!
Kita dianugerahi rasa takut
dengan kadar tertentu terhadap hal-hal tertentu pula. Satu sama lain pastinya
berbeda. Ada orang yang berani main bungee
jumping sampai ketinggian ratusan meter di atas permukaan laut, tapi ada
juga yang merem-melek saat melihat ke bawah dari atas puncak gedung. Ada yang
takut banget sama hewan buas seperti ular, tapi ada juga yang bisa
memeliharanya dengan baik. Lalu, apa yang membuat kita berbeda? Jawabannya
adalah karena pengalaman hidup seseorang itu berbeda satu sama lain. Nggak
mungkin ada yang sama persis.
Nah, fobia itu muncul akibat
adanya pengalaman yang menakutkan. Entah memang terjadi sesuatu yang negatif,
merugikan atau membahayakan setelah mengalami suatu kejadian atau karena kita
memiliki antisipasi yang berlebihan terhadap suatu kejadian sehingga yang ada
dipikiran kita adalah takut yang ekstrim untuk menghindari kejadian tersebut.
Ada juga sumber yang menyebutkan bahwa ada orang yang secara genetis memiliki
kecenderungan untuk lebih cemas dibandingkan dengan orang lain. Jadi respon
yang muncul akan selalu berlebihan.
Sederhananya, seseorang mengalami
fobia karena ada insiden yang membuatnya trauma, stress, dan panik. Di kemudian
hari, ketakutan yang dirasakan saat insiden bisa aja muncul karena ada objek
yang mengingatkannya pada insiden tersebut. Terutama insiden atau kejadian yang
memalukan, membahayakan, sampai kejadian yang mengancam nyawa.
Kalau gitu, gimana kita bisa
yakin kalau kita mengalami fobia atau nggak? Salah satu ciri yang paling utama
adalah adanya gangguan secara psikis dan perubahan fisik. Secara psikis,
seseorang yang beneran fobia akan mengalami kecemasan yang intens sampai
mengganggu fungsi basic-life, seperti
nggak mau keluar rumah, susah konsentrasi, nggak bisa tidur, nggak nafsu makan
dan sebagainya.
Parahnya lagi, kecemasan ini bisa berlangsung selama 6 bulan! Waduh!
Perubahan fisik pun ada seperti
deg-degan parah, tubuh jadi lemas, keringat dingin, gemeteran, pusing dan
mual-mual hingga pingsan. Tuh, kan… fobia itu bukan hanya takut lalu hilang,
tapi juga udah menyerang pikiran dan badan.
Benar nggak sih fobia itu ada
banyak macamnya?
Pasti pernah baca ya facts
tentang nama-nama fobia. Misalnya claustrophobia,
trypophobia, agoraphobia, dan masih banyak blablablaphobia lainnya.
Diperkirakan ada seratus lebih penamaan fobia yang bikin kita mikir, “Emang ada
ya orang yang sebegitu takutnya sama ini?”
Faktanya, memang fobia itu
macam-macam. Tapi sebenarnya dalam psikopatologi, fobia dibedakan atas dua,
tergantung dari stimulus atau apa yang bikin takut. Dua hal itu adalah specific phobias yang terdiri dari fobia terhadap objek tertentu dan fobia terhadap situasi tertentu. Fobia
yang pertama adalah mereka yang fobia
terhadap binatang (laba-laba, ular, anjing), lingkungan alam (ketinggian, air, badai), darah-suntikan (jarum suntik, prosedur medis). Kalau fobia situasi itu seperti takut naik
pesawat, lift, berbicara di depan umum, masuk ruangan sempit dan fobia lain seperti kejadian-kejadian
spesifik.
Banyak juga hal yang sebenarnya
umum ditakuti oleh orang-orang dan ketika kita takut sama hal tersebut tentu
kita tidak otomatis mengalami fobia. Misalnya nih, melihat badut sirkus yang
mukanya serem banget. Bukan berarti kita fobia terhadap badut sirkus. Itu
karena emang dasarnya si badut menakutkan, hampir semua orang juga akan takut
kalau ngelihat badut sirkus apalagi ditambah situasi malam yang gelap dan
berjalan mendekati kita. Ya iyalah!
Atau mungkin begini. Kita masuk
ke lorong gua yang sempit banget. Lalu kita merasa panik dan lemas. Bisa jadi
kita mengalami claustrophobia. Tapi
setelah itu, kita bisa naik lift yang kecil dan sempit dengan perasaan biasa
aja atau blusukan ke pemukiman
pendudukan yang rumahnya dempet-dempetan dengan perasaan biasa aja tanpa takut
dan panik. Kalau begitu kita nggak bisa melabeli diri dengan mengalami claustrophobia karena di situasi lain
yang mirip, kita masih bisa survive tuh!
Jadi, apakah fobia itu harus
semua situasi atau bendanya kita alami?
Maksudnya, kita nggak bisa bilang
kalau kita fobia A atau fobia B kalau kita hanya berhadapan dengan situasi atau
benda yang menakutkan saat pertama kali kita merasa takut. BApalagi kalau
perasaan takut itu nggak intens, hanya saat itu aja dan nggak banyak
memengaruhi quality of life. Bisa aja
sih, pertama kali mengalami lalu merasa fobia, tapi itu pasti diikuti oleh
pengalaman lain yang mengingatkan kita pada ketakutan itu.
Kita bisa benar-benar yakin kalau
mengalami fobia apabila kita memeriksakan kondisi kita ke ahli seperti psikolog
dan psikiater. Itu pun pasti mereka akan bertanya, “Kejadiannya udah berapa
lama? Berapa kali menghadapi situasi menakutkan kayak gitu? Apa yang kamu
lakukan ketika menghadapinya?” dan lain sebagainya. Dari situ kita bisa tahu,
kita emang beneran punya fobia dan harus diterapi atau kita hanya merasakan
pengalaman takut yang wajar.
Jangan ngaku-ngaku punya fobia
agar terlihat keren dan unik. Gangguan mental bukan sesuatu yang bisa dijadiin
bahan buat keren-kerenan, bukan sesuatu yang layak dipamerkan untuk mendapatkan
pujian apalagi rasa iba. Orang yang beneran punya fobia biasanya berkeinginan
untuk bisa menaklukan rasa takutnya dan sembuh dengan konsultasi ke psikolog,
minum obat dari psikiater, sampai ikutan terapi medis dan non-medis. Dan semua
itu melelahkan, percayalah.
Tapi… kalau takut nggak bisa
memiliki seseorang yang kita cintai termasuk fobia nggak ya? Ups!