Hello, I am Carlo #2
Cara mainnya kan begini…
Ibu selalu terlihat
lelah sepulang bekerja menjadi juru masak di Colegio Sagrado Corazòn, sebuah
sekolah yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Aku yakin menyebut Ibu seorang
juru masak karena makanan yang Ibu buat untukku selalu enak.
Kembali ke rumah itu
artinya kembali bertemu dengan kotak harta karun. Isinya berbagai macam
mainanku. Tidak banyak, tapi cukup membuat Ibu pusing kalau tidak langsung aku
bereskan.
“Hari ini kita akan
makan krim sup ikan tuna!” kata Ibu dari arah dapur.
Seperti biasanya, aku
tidak menggubris.
Mungkin Ibu pikir aku
tidak mendengarnya.
***
Ada yang memelukku dari
belakang!
Aku sontak berteriak dan
berlari menjauh.
Oh, ternyata itu Ayah
yang baru saja tiba di rumah setelah dua hari bekerja mengantarkan barang ke
Barcelona dan Valencia. Sayang, aku belum pernah ke sana, aku tidak tahu seberapa jauh itu.
“Carlo, ayo sini main
sama Ayah.”
Ayah menggendongku
menuju kotak harta karun. Kotak dimana semua mobil mainanku bersembunyi.
Ayah mengeluarkan
seluruh mobil.
gettyimages.com |
Tanpa berkomentar
apapun, aku menyusun mobil-mobil itu.
“Tumpukan mobil?” Tanya
Ayah.
“Tumpukan mobil.”
“Carlo, cara mainnya
adalah dijalankan dengan tanganmu. Seperti ini.”
Percuma Ayah, aku tidak
melihat apa yang Ayah contohkan. Melirik pun tidak.
Aku sibuk dengan
tumpukan mobil yang kubuat.
Tak semudah apa yang
kupikirkan, tumpukan itu tidak pernah bertahan lama.
Meletakkan mobil terakhir di paling atas… BRAK!
Menara mobilku hancur
dalam sekejap. Aku hanya bisa menangis putus asa.
“Jangan menangis nak,
ayo kita main lagi. Lihat bagaimana Ayah menjalankannya. Seperti ini.”
Aku masih menangis.
Ayah diam. Mungkin
bingung.
Aku masih menangis.
Ayah menumpuk
mobil-mobil itu. Persis seperti yang aku lakukan sebelumnya.
Oh, bahkan mungkin lebih
baik, karena cukup bertahan lama.
Aku masih menangis.
Ayah merangkulku, mataku
terpaksa melihat menara mobil yang Ayah buat.
Aku berhenti menangis.
Tapi jari ini tidak
tahan untuk tidak menyentuh tumpukan itu.
Ya, tumpukan itu kembali
berserakan.
Tapi kali ini aku tidak
menangis putus asa. Aku berdiri dan berputar-putar.
Mataku melihat
langit-langit ruang keluarga. Pusing juga.
Aku terduduk di depan
mobil mainan warna biru. Mobil baru punyaku, dan mengambilnya.
“Nah, ayo kita balapan.
Mobil Ayah warna kuning ya.”
Ayah saja yang balapan,
aku hanya tertarik pada rodanya.
Aku memutar-mutar roda
mobil. Seru sekali. Tidak seputus asa menumpuk mobil.
Sayang sekali, aku
dipaksa makan oleh Ibu.
Besok main lagi ya!
***
“Bagaimana kabar bibi
Emma?” Tanya Ayah padaku yang sedang bermain puzzle angka.
“Satu. Di sini.”
“Apakah dia sehat?”
“Tujuh.”
“Bagaimana jika besok
kita bawakan buah apel dan pir?”
“Empat.”
“Carlo.” Ayah menarik
wajahku ke arahnya. “Carlo dengar Ayah, nak?”
Aku tidak melanjutkan
bermain puzzle angka. Aku hanya ingin bersandar di pelukan Ayah.
***
Ayah kemana saja?!
Kenapa mengantar barang selama itu?
Ayah tahu? Banyak
kejadian seru yang kualami selama dua hari ini. Aku sampai lupa kejadian seru
apa saja itu.
Ayah tahu? Kalaupun aku
ingat, aku tidak akan dengan mudah menceritakannya pada Ayah.
Aku hanya sanggup
berbicara sepatah kata—paling tidak tiga atau empat kata yang aku anggap
kalimat bermakna.
Ayah tahu? Bukannya aku
tidak mendengar apa yang Ayah ucapkan.
Hanya saja aku belum
mampu memberikan respon terbaik yang dapat Ayah mengerti, mungkin diamku dapat
Ayah pahami.
Tapi Ayah jangan
khawatir. Selama Ayah jauh, aku yang menjaga Ibu, aku yang menemani Ibu.
Aku pastikan Ibu juga
merindukan Ayah.
Oh ya, kapan-kapan ajak
aku dan Ibu ke Barcelona atau ke Valencia ya Ayah!
Kita pergi naik mobilku
yang rodanya bisa berputar!